Renungan Rabu Abu

RABU ABU/B/2012
Yl 2:12-18  2Kor 5:20-6:2  Mat 6:1106.116-18

PENGANTAR
          Hari Rabu ini Gereja di seluruh dunia mulai memasuki Masa Puasa, sebagai suatu perjalanan rohani bersama Yesus menuju Yerusalem, di mana Ia akan melaksanakan karya-Nya sebagai Almasih. Berabad-abad masa puasa merupakan suatu perjalanan batin intensif yang harus dialami oleh pengikut-pengikut Yesus Kristus.
          Mengapa masa puasa diselenggarakan selama 40 hari?  Dalam Kitab Kejadian (PL) diceriterakan, bahwa Allah mendatangkan air bah selama 40 hari untuk menghukum dosa umat manusia yang diciptakan-Nya. Selama 40 tahun bangsa Israel, yang hidup sebagai budak-budak dalam penjajahan di Mesir, harus berjuang di padang gurun dalam perjalanan hidup mereka menuju ke Palestina, sebagai tanah terjanji. Dan 40 hari Musa, Elias dan Yesus sendiri harus berpuasa dan berdoa untuk mempersiapkan diri  dalam melaksanakan panggilan hidup mereka!
          Karena itu marilah kita seperti Yesus sendiri menggunakan masa puasa ini sebagai semacam retret 40 hari untuk dapat merayakan Paskah sebaik dan otentik mungkin. Tiada kebangkitan tanpa kematian. 
HOMILI
          Secara praktis Gereja mengajak kita untuk berdoa, berpuasa, dan memberi sedekah. Nah, kalau kita berdoa, nasehat Yesus ialah: “masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah, dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi!” Bila berpuasa, Yesus mengatakan: “Kalau berpuasa janganlah murammukamu, supaya orang tahu, bahwa kamu baru berpuasa. Sebab Bapamu di tempat tersembunyi sudah  melihat itu”. Jikalau mau berderma atau memberi sedekah, Yesus mengingatkan: “Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi”.- Nah, dengan berdoa, berpuasa dan memberi sedekah khususnya selama masa puasa ini, kita sebenar-nya diajak memurnikan hidup kita. Rasa dan kepekaan hati kita dibangunkan kembali. Masa depan kita harus dapat kita lihat, perhitungkan dan kita tanggapi dengan lebih jernih dan pasti.

          Dewasa ini ada salah pengertian tentang makna puasa. Pelaksanaan puasa sering mempunyai cita-cita yang kabur. Dahulu yang dimaksudkan ialah puasa keagamaan. Sekarang ini ada yang disebut puasa politis atau sosial, misalnya puasa lapar, atau pemogokan dengan tidak makan-minum. Ada pula puasa kesehatan atau ideologis, misalnya puasa vegetarian (hanya makan sayur-sayuran) atau herbal (tumbuh-tumbuhan). Bahkan ada puasa patologis, puasa estetis (guna memelihara bentuk langsing tubuh). Tetapi di samping aneka ragam puasa itu, masih ada ada puasa yang dipaksakan atau lebih tepat dikatakan puasa yang terpaksa, yaitu puasa yang masih harus dialami oleh jutaan orang atau jutaan manusia, yaitu mereka yang tidak memiliki jumlah minimal makanan-minuman, yang mutlak dibutuhkan. Akibatnya, mereka mati karena kelaparan!
          Aneka macam puasa itu sebenarnya tidak ada hubungannya dengan makna keagamaan atau rohani puasa gerejawi! Makna puasa kegerejaan bertujuan membentuk suatu sikap rohani/batin fundamental, yakni: hormat kepada Allah, pengakuan jujur atas dosa-dosa yang dilakukan, pertentangan melawan keinginan daging, kerpihatinan dan solidaritas dengan kaum miskin! Contoh kepalsuan suatu pengertian tentang puasa terdapat misalnya dalam ceritera Injil Lukas. Pada waktu berdoa seorang Farisi berkata: “Ya, Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain. Aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku” (Luk 18:11-12).
          Apa yang sebaiknya harus kita sadari untuk memasuki masa puasa ini? Masa puasa adalah waktu bagi kita untuk meninjau kembali pengertian dan pelaksanaan puasa yang dimaksudkan oleh Gereja? Apa yang sudah kita lakukan dalam melaksanakan puasa, yang diserukan oleh Gereja kepada kita? Seandainya Yesus ada di antara kita sekarang ini, apakah gerangan akan disampaikan kepada kita murid-murid-Nya sebagai hal yang sangat perlu? Kiranya untuk kita sebagai Gereja di Jakarta ini (bukan hanya di Jakarta!) yang sangat perlu ialah “berbagi roti dengan orang-orang yang lapar, dan berbagi pakaian dengan orang-orang yang telanjang”. Masih banyak lagi kebutuhan yang harus dipenuhi penduduk yang ada di daerah Keuskupan Agung Jakarta ini, seperti perumahan, pendidikan bagi kaum miskin.  Bukankah kita, murid-murid Yesus, akan malu dan berwajah palsu sebagai murid-Nya, apabila puasa kita tidak lebih daripada sekadar memenuhi peraturan dengan sikap yang dimiliki orang Farisi, yang bangga akan puasanya, sejauh bisa dilihat banyak orang. Seolah-olah minta dikagumi betapa banyaknya sebagian dari miliknya diberikan sebagai sedekah di Bait Allah. Meskipun hanya berapa persen dari seluruh miliknya?
          Marilah kita berdoa, berpuasa dan memberi sedekah dengan tulus, jujur dan rendah hati di hadapan Allah selama masa puasa ini.
Mgr. F.X. Hadisumarta O.Carm.

Komentar

Postingan Populer