TABERNAKEL
Apa itu “tabernakel”, dan apa itu “sacrarium” ?
Tabernakel adalah tempat menyimpan Hosti Kudus/Tubuh dan Darah Kristus…Sacrarium/wastafel, tempat untuk merendam hosti yang rusak yang sudah dikonsekrasi hingga larut..Hosti yang sudah dikonsekrir tidak boleh dibuang/dibakar…aliran sacrarium tdk melalui pipa pembuangan…Mudah2an benar….
jawaban anda benar chrisalea Alda, ada tambahan sedikit; tabernakel itu berasal dari bahasa natin; taber artinya kemah, narkel adalah kudus, jadi tabernakel adalah kemah kudus, dimana di letakan Tubuh Kristus
Boeh nambah sedikit yaa..
Pak Renalto Haliman benar.Tabernakel terkadang disebut juga sebagai “tenda pertemuan” (Kel 33:7). Asal usulnya dari tradisi Yahudi. Allah meminta Musa untuk membuat tabernakel, yaitu suatu tempat kudus yg bisa dibawa-bawa. Didalamnya disimpan tabut perjanjian, dua loh batu yg berterakan hukum dari Allah. Dengan demikian, secara teologis, tabernakel menjadi tanda kehadiran Allah di tengah umat-Nya (Why 21:3)
Saat ini “tabernakel” berfngsi sebagai tempat menyimpan Sakramen Mahakudus, yakni Tubuh Kristus dlm rupa Hosti yg telah dikuduskan dalam Perayaan Ekaristi.
Sekarang “tabernakel” menunjuk pada semacam lemari kecil dalam sebuah gereja, yg berfungsi sbg tempat menyimpan Sakramen Mahakudus, yaitu dlm rupa hosti yg telah dikonsekrir (dikuduskan) dlm Perayaan Ekaristi.
Tadinya, tempat menyimpan Sakra…men Mahakudus itu disebut “sacrarium”, suatu tempat yg kudus (Latin ” sacer” = kudus, suci). Sacrarium itu jg sekaligus merupakan tempat utk menyimpan minyak katekumen, krisma, dan pengurapan orang sakit. Bentuk sacrarium itu semacam lemari kecil yg ditempatkan di sakristi. Secara historis sejak abad ke-7 mulailah bermunculan tabernakel, dan tidak menyimpan Sakramen Mahakudus didlm sacrarium lagi melainkan Sakramen Mahakududs itu disimpan didlm tabernakel.Di dlm PUMR 280 juga di jelaskan bahwa :
“Hosti atau bagian hosti yg terjatuh harus dipungut dg hikmat. Kalau ada Darah Kristus tertumpah, hendaknya tempat itu dibersihkan dg air. Air itu lalu dituangkan kedalam “Sakrarium” di sakristi.”
Kalau boleh disimpulkan, bahwa tabernakel adalah sebuah lemari kecil dg nyala api abadi yg dipergunakan sbg tempat menyiman Sakramen Mahakudus yg telah dikonsikrir, sedangkan sacrarium adalah tempat kudus dan suci yg dipergunakan utk menyimpan /menuang hosti suci yg sdh rusak sekaligus tempat dituangkan sisa air setelah dipakai saat membersihkan bejana suci maupun air yg telah dipakai pastor utk cuci tangan,, hendaknya dituang ke dlm sacrarium tsb.
lha romo saya cucinya pake kobokan yang ditaruh diatas kreden…
@CA : namabahin ya, sebetulnya bukan direndam, tapi memang dibuang…untuk membuang Hosti yg sudah di konseklir (menjadi Tubuh Kristus/Sakramen Maha Kudus) sebelumnya harus dinetralisir menggunakan air, agar Sakramen Mahakudus kembali menjadi hosti ini dilakukan oleh imam di sacrarium (biasanya sacrarium dibangun di dalam sakristi) yaitu suatu bak cuci yang pembuangannya tidak dialirkan ke sistem pembuangan air, melainkan langsung ke tanah. Jika, karena suatu alasan tertentu, imam harus memusnahkan Hosti Kudus, imam akan melarutkan Hosti Kudus dengan air dalam sacrarium
Posted by liturgiekaristi on June 22, 2011
* Purifikatori adl semacam lap putih pembersih utk piala, sibori, dan patena.
* Palla adl kain kertas putih persegi empat utk menutupi piala dr kemungkinan masuknya kotoran.
* Korporale, merupakan semacam kain taplak putih utk alas piala dan… sibori / patena.
Sebelum digunakan ketiga benda ini biasanya diletakkan pada piala, dg urutan purifikatori, patena (jika dipakai), palla, lalu korporale. tak jarang setelah purifikatori ditaruh sendok kecil diatasnya yg dipakai utk menciduk / mengambil air dan mencampurkannya dengan anggur dalam piala.

Om admin, ijin nambahin ya….
PURIFIKATORIUM :
berasal dari bahasa Latin “purificatorium”, yaitu sehelai kain lenan berwarna putih berbentuk segi empat untuk membersihkan piala, sibori dan patena. Sesudah dipergunakan, purifikatorium dilipat… tiga memanjang lalu diletakkan di atas piala.
PALLA :
berasal dari bahasa Latin palla corporalis yang berarti kain untukTubuh Tuhan, adalah kain lenan putih yang keras dan kaku seperti papan, berbentuk bujursangkar, dipergunakan untuk menutup piala. Palla melambangkan batu makam yang digulingkan para prajurit Romawi untuk menutup pintu masuk ke makam Yesus. Palla diletakkan di atas Patena.
CORPORALE :
Sehelai kain lenan putih berbentuk bujur sangkar dengan gambar salib kecil di tengahnya. Seringkali pinggiran korporale dihiasi dengan renda.
Dalam perayaan Ekaristi, imam membentangkan korporale di atas altar sebagai alas untuk bejana-bejana suci roti dan anggur. Setelah selesai dipergunakan,korporale dilipat menjadi tiga memanjang, lalu dilipat menjadi tiga lagi dari samping dan ditempatkan di atas Palla.
Posted by liturgiekaristi on March 9, 2011
Protes umat (yang mendapat pembelajaran Liturgi) atas posisi SALIB PANCANG yang ditempatkan di sebelah kanan samping Meja Altar di panti imam.
” Salib pancang nya,jangan ditaruh disitu dong…
Yang betul menurut pakar liturgi RP. Christophorus Yohanes Harimanto Suryanugraha,OSC salib di yang menghadap umat seharus nya cukup 1,tgl pilih antara salib besar di dinding ,salib pancang ato salib kecil di
altar,maksud nya… adalah menyatukan umat dlm perayaan.Liturgi terkadang bukan karena kebiasaan ,tp lebih pada aturan ,jd jgn merasa sudah benar apa bila dilihat dari perspektif kebiasaan saja.
Sesudah perarakan seharus nya salib pancang di masukan kembali ke sakristi ,itu ideal nya .Logika nya,apa anda pernah melihat salib pancang berdiri tegak di panti imam ketika melihat perayaan ekaristi di
vatikan,yg notabene sudah memiliki salib besar yg menghadap ke umat?”
PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ:
Tata ruang panti imam, silahkan lihat apa yang dianjurkan PUMR dan RS (Redemptionis Sacramentum). Ada hal-hal yang disebutkan, bukan digambarkan posisinya.
Contoh: Sudah didiskusikan tentang masing-masing bagian harus dibawakan imam dari mana. Maka Semua tempat itu harus strategis terlihat umat : sedelia, ambo, altar. Ketiganya tidak menyatu, tetapi ada di panti imam.
Salib memang cukup dua, yakni satu yang terlihat untuk umat, dan satu untuk imam – umumnya diletakkan di altar, entah berdiri (kecil) atau tergeletak. Dianjurkan tergeletak, karena imam toh sudah bisa melihat salib itu dan tidak mengganggu pandangan umat ke altar.
Tabernakel yang juga umumnya ada di sekitar panti imam juga diposisikan sedemikian rupa supaya tidak ‘dipantati’ imam dan misdinar.
Itulah perangkat pendukung untuk panti imam. Selebihnya silahkan ditata demi indahnya atau estetikanya. Disebut baik dan memenuhi pedoman (= benar) kalau semua hal tadi ada, tertata, dan membantu seluruh tata perayaan yang berlangsung baik imam maupun umatnya.
NB. Mikrofon sedapat mungkin tidak mengganggu petugas dan pandangan umat. Juga imam dan petugas melatih dengan baik penggunaan mikrofon agar tetap khidmat, tidak perlu ‘mikrofon sentris’, atau setiap kali mau pakai harus test dengan memukul atau mencoba dengan suara (hallo, test, dll). Itu semua diandaikan sudah ditata dan disetting baik oleh petugas. Kalau tidak berfungsi biarkan saja, jangan sibuk ngurusin mikrofon saat sudah jalan.
Maka juga imam dan lektor harusnya berlatih bersuara cukup kuat, agung, dan jelas ditangkap, kendati tanpa sound system.
MASUKAN DARI UMAT AWAM YANG PAHAM LITURGI = KESIMPULAN
Salib pancang tidak perlu di tempatkan di samping altar, karena sudah ada salib besar di belakang (digantung di tembok). Salib pancang dibawa masuk kembali ke sakristi setelah dibawa dalam perarakan.
Posted by liturgiekaristi on March 9, 2011
PENCERAHAN DARI BP. VINCENT PAMUNGKAS :

Dupa dipakai gereja sejak jaman yahudi dan pararasul, banyak referensi di Mazmur dan kitab2 PL juga Wahyu. Asap yang dihasilkan menjadi lambang penyucian/pengkudusan, dan juga melambangkan doa2 kita yang naik ke surga. Di dalam misa dupa bisa dipakai waktu perarakan masuk, bacaan Injil, atau untuk menyucikan persembahan/pastor/umat, atau untuk menghormati altar, salib, hosti setelah konsekrasi. Penggunaan dupa tidak diwajibkan, tapi boleh dipakai untuk membuat suasana misa lebih sakral.
PENCERAHAN DARI BP. DANIEL PANE
Dupa menandakan kemeriahan. Karena hari Minggu adalah hari raya maka idealnya Misa Hari Minggu dirayakan dengan meriah, teks-teks Misa dinyanyikan, prosesi diadakan, dan dupa dipakai (lebih bagus lagi jika ada Diakon yang ikut melayani dan membacakan Injil), dulu Misa semacam ini sering disebut sebagai Misa Agung. Mengadakan Misa semacam ini untuk .semua Misa yang diadakan pada hari Minggu (dalam paroki yang merayakan Misa lebih dari satu kali) kenyataannya cukup sulit. Maka biasanya dipilih satu Misa, yang paling banyak dihadiri umat, dan diadakan secara demikian, sementara Misa-misa lainnya cukup dinyanyikan atau sekedar dibacakan, sesuai keadaan.
Tapi biasanya kebiasaan mengadakan Misa Agung semacam ini pada hari Minggu tidak terlalu sering di Indonesia, sepengetahuan saya hanya di beberapa Keuskupan saja, Keuskupan tempat saya tinggal adalah salah satunya yang mengusahakan agar setiap hari Minggu ada satu Misa yang dirayakan secara lebih meriah dengan pendupaan dan prosesi.
Posted by liturgiekaristi on March 9, 2011
Topik diskusi :
” Di gereja2 yang ada Tabernakelnya sering ada lampu yang terus bernyala di dekat tabernakel. Apa fungsinya dan apa maknanya? Gimana kalo lampunya mati? Mohon pencerahan .”
BEBERAPA PENDAPAT AWAM
Daniel Pane
Lampu tabernakel menandakan bahwa tabernakel tersebut terisi dengan Sakramen Mahakudus.
Jika lampu tidak menyala hal itu menandakan bahwa tabernakel sedang kosong.
Jika saat tabernakel terisi lampunya mati, maka segeralah dinyalakan, jangan sampai dikira kosong karena lampunya tidak menyala.
Vincent Pamungkas
Ini tradisi dari jaman Yahudi, untuk selalu menyalakan lampu di samping tabernakel (Kel 27:20-21). Ini juga diatur dalam aturan Ritual Romawi, bahwa lampu itu mesti dinyalakan. Lampu ini menandakan bahwa ada tubuh Kristus di dalam tabernakel, dan kalau melihat pintu tabernakel tertutup dan lampu menyala, berarti Yesus ada di sana, maka umat harus … See Moreberlutut pada saat memasuki gereja (di titik terdekat ke tabernakel tsb, yaitu pada saat mau duduk).
Pada waktu tabernakel kosong, seperti Jumat Agung, pintu tabernakel dibuka, dan lampunya dimatikan. Kalau umat melihat pintu tabernakel terbuka, umat tidak boleh berlutut, tapi cukup membungkuk ke arah sana.
@Yboni Mahardana: Tuhan memang ada di mana2, tapi Tuhan hadir secara fisik hanya di dalam hosti (tabernakel/komuni), tidak di mana2. Sebagai katolik kita mesti percaya dan menyembah Tuhan yang hadir dalam bentuk fisiknya ini, dengan postur tubuh dan sikap hati yang tepat. Salam Kristus.
Fx Wahyu Widiastono
yang jadi masalah sebenarnya bukan pada mati ato hidupnya lampu,tapi sebenarnya pada umat bisa ato tidak menghormati hosti suci sebagai tubuh dan darah x’tus sendiri …
sering saya lihat pada saat di gereja, banyak umat yang mau duduk tidak menghormati sakramen terlebih dahulu, padahal lampu tabernakel nyala…..
dan pada saat mau komuni malah … See Morebersenda gurau ato ngobrol dengan teman …..
eh kok jd nglantur sih, sebaiknya seandainya lampu mati (pln) ya dinyalakan lilin di dekat tabernakel ……
Agung Semar
dan katekese untuk ini sepatutnya di beritahukan pada umat.
Posted by liturgiekaristi on March 9, 2011
Topik :
Di page ini, ada pertanyaan dari seorang PUTRA ALTAR ” untuk penataan altar…Jika tidak ada salib di altar, misalnya seperti misa di rumah umat, salib kecil yang diletakkan di meja sebaiknya menghadap kemana…?makasiih yaaa untuk jawabannya.. :) gbu.
SEBAGIAN PENDAPAT UMAT :
Gregz Yoy
Seperti yg biasa saya lihat,, salib tersebut menghadap umat…
Tetapi jika pertanyaannya adalah sebaiknya, saya juga tidak tahu…
Misdinar Santa Maria Kartasura
Kalau kami dibiasakan Salib tersebut menghadap ke Imam. Sama seperti Salib yang ada di Piala, Puryficatorium, Patena, dan Juga Pala …. semuanya menghadap ke Imam. Klo kita pas menatanya ya menghadap ke kita eh … kita menghadap ke Salib … apalagi ada Korpus -nya … semoga aja bener deh kebiasaan kami …
Teresa Subaryani Dhs
Bila tidak ada salib yang di dinding, dan hanya ada satu salib. Salib diletakkan dengan corpus menghadap umat. Setau saya, kalau ada salib di dinding pun, harusnya di altar ada salib kecil yang menghadap ke imam. Berhubung tanda salib itu biasanya terukir di altar (di tempat menaruh relikui), maka tidak terlihat.
Hailey Goitom Umino Chikara
sifat tradisionalisme versus sifat liberalisme….huhuhu….nampaknya kedua-dua sifat tersebut saling brlawanan antara satu sama lain dlm diskusi ini…hmm…namun apa2 posisi salib itu xpenting, asalkan realitas sejati, yakni tumpuan umat semasa Misa trtuju kepada kehadiran sejatiNya saat Konsekrasio…moga2 kita semua akan lebih sensitif akan perkara ini…krna sngguh, prkara itu makin hilang dari hati umat dewasa ini…~
Agustinus Dwie Susanto
diparoki kami malah ada 3 salib, 1 didinding menghadap umat, 1 dialtar menghadap imam, 1 dibawa misdinar pas perarakan n ditaruh dekat panti imam, apakah salah atau betul… mhn saran juga
PENCERAHAN2 :
Daniel Pane
Sebaiknya hanya ada satu salib dan salib itu menghadap Imam (jangan menghadap umat). Imam lah yang lebih memerlukan Salib agar ia dapat mengarahkan pikirannya pada Kristus. Sebaiknya tidak ada 2 salib karena mengaburkan fokus dalam Liturgi, dan membuat orientasi jadi tidak jelas (pemaknaannya hanya ada satu Kurban, jadi simbolnya satu saja).
Dulu Salib di buat menghadap umat karena dulu Imam dan umat menghadap ke arah yang sama. Maka, jika Imam dan umat saling berhadapan maka Salibnya harus menghadap Imam.
@Hailey:Penataan posisi Salib itu penting karena akan membantu umat menghayati kehadiran real dalam Ekaristi. Kalau alat bantunya tidak beres susah mengajarnya dan akhirnya makin hilanglah kesadaran itu:D
Praktek yang nyata di Basilika Santo Petrus di Vatikan (juga kalau Misa di Lateran), tidak ada salib besar yang menghadap umat. Di Basilika Salibnya hanya ada satu, yang diletakkan di Altar dan corpus nya menghadap selebran. Jadi maksud Pastor Joseph Ratzinger jelas salib memang sebaiknya hanya satu saja dan menghadap ke arah Imam. Rasanya pendapat… See More ini juga didukung oleh Msgr. Guido Marini (ceremoniarius Liturgi kepausan) dan kalau mau menyebut nama Romo lain, Romo Uwe Lang yang menulis buku “Turning Toward the Lord” bisa dijadikan acuan.
Pastor Yohanes Samiran
Dalam pedoman liturgi rasanya cukup jelas.
a. Salib (meja) altar – corpusnya ke arah imam.
b. Salib pancang sama fungsinya dengan salib dinding altar, tentu menghadap umat.
Posted by liturgiekaristi on March 9, 2011
Pertanyaan umat :

PUTRA/I ALTAR “Hmm,,aqhu mw nanya nih,,aqhu kn misdinar d paroki.. Mnrt TPE yg trbaru,,gmna sih sharusnya bunyi lonceng/gong swaktu konsekrasio yg benar??Soalnya,,bda pastornya,,bda jg cra lonceng/gong yg hrz d bunyikn..Kmi jd bingung..TLg d jawab yha.. Thx..”
PENCERAHAN DARI PASTOR ZEPTO PR :
TENTANG LONCENG DAN GONG DALAM LITURGI GEREJA, khususnya Perayaan Ekaristi. Beberapa pencerahan saya.
Pertama, sejauh sy tahu, dlm Liturgi Gereja sesuai Ordo Missae hy dikenal lonceng. Karena pengaruh INKULTURASI dlm liturgi, maka gong mulai dipakai umum/meluas di Gereja Indonesia. Anehnya, lonceng dang gong dipakai bersamaan, lalu ada yang menganggap bhw penggunaan serentak lonceng+gong itulah yg ideal.
Kedua, tentang BUNYI. Karena pada masa2 lalu buku2 tentang liturgi masih relatif sedikit, itupun kurang tersebar, maka di byk gereja org hy mewarisi kebiasaan2 lama. Bunyinya mjd beragam; beda gereja, beda CARA DAN JUMLAH bunyi. Hehehe . . . Semua gaya itu sama2 tentu bermaksud baik; macam2 cara dipakai untuk mencapai sesuatu yg baik. Variis modis bene fit, kata orang Latin…
Ketiga, hal yg lebih mendasar adalah PEMAKNAAN LITURGIS. Bunyi lonceng (demikian juga gong) bermakna ‘memanggil’ dan ‘tanda perhatian’ kepada sesuatu/seseorang/peristiwa yg (maha-)penting. Pengundangan atau tanda perhatian ini sangat mengharapkan tanggapan dan jawaban positif umat. Inilah ‘Dimensi Katabatis-Anabatis’ dari liturgi. Jadi, lonceng/gong bukan sekedar barang, dan bunyinyapun bukan sekedar bunyi. Sebaliknya, lonceng/gong dan bunyinya sungguh benda dan bunyi liturgis. Oleh karena itu, lönceng/gong demikian bunyinya haruslah dihayati dan diperlakukan juga sesuai dgn martabatnya dlm liturgi resmi Gereja.
Keempat, tentang ARTI SIMBOLIS. Gereja kaya akan simbol2. Bunyi2anpun mengandung makna simbolis. Demi memelihara dan mewariskan secara utuh keagungan liturgi Gereja dan arti2 simbolisnya, maka dalam Ordo Missae (juga, TPE 2005) telah diatur kapan dan bgmn lonceng/gong dibunyikan: SEBELUM prefasi (1x), SEBELUM memasuki kata2 institusi/konsekrasi (1x), KETIKA elevasi Tubuh/Darah Kristus (3x), dan KETIKA imam berlutut post-elevasi (1x panjang). Angka dalam tanda kurung adalah ‘jumlah ketukan’ yg biasa dibuat di gereja kami.
Salam,
Zepto-Triffon, Sorong, Papua.
Posted by liturgiekaristi on March 9, 2011
Pertanyaan :
Ada pelatih misdinar bertanya: cara mendupai yang tepat itu bagaimana? Untuk Sakramen 3 ayunan, untuk Imam 2 ayunan, untuk umat 1 ayunan – masing-masing dibuat 3 kali?
PENCERAHAN DARI BP. AGUS SYAWAL :
PUMR 277:
Sesudah mengisi pedupaan, imam memberkatinya dengan membuat tanda salib di atasnya, tanpa mengatakan apa-apa.
Sebelum dan sesudah pendupaan, petugas membungkuk khidmat ke arah orang atau barang yang didupai, kecuali dalam pendupaan altar dan bahan persembahan untuk Ekaristi.
Pendupaan dilaksanakan dengan mengayunkan pedupaan ke depan dan ke belakang..
Pedupaan diayunkan tiga kali untuk penghormatan: (a) Sakramen Mahakudus, relikui salib suci dan patung Tuhan yang dipajang untuk dihormati secara publik; (b) bahan persembahan; (c) salb altar, Kitab injil, lilin paskah, imam dan jemaat.
Pedupaan diayunkan dua kali untuk penghormatan: relikui dan patung orang kudus yang dipajang untuk dihormati secara publik. Semua ini didupai hanya pada awal perayaan Ekaristi sesudah pendupaan altar.
Altar didupai dengan serangkaian ayunan tunggal sebagai berikut :
a. Kalau altar berdiri sendiri, imam mendupai altar sambil mengelilinginya.
b. Kalau altar melekat pada dinding, maka imam mendupai sambil berjalan ke sisi kanan lalu ke sisi kirinya.
Kalau ada salib di atas atau di dekat altar, maka salib itu didupai sebelum altar. Atau, imam mendupai salib pada saat ia melintas di depannya.
Sebelum mendupai salib dan altar, imam mendupai bahan persembahan dengan mengayunkan pedupaan tiga kali atau dengan membuat tanda salib dengan pedupaan di atas bahan persembahan.
Apa yang dimaksud satu ayunan? Rubik 1962 bisa mengisi kekosongan ini.
Satu ayunan adalah satu kali:
1. Pendupaan diangkat dari sisi pemegang ke depan dada.
2. Pendupaan di goyangkan seperti pendulum ke arah obyek/orang yang diberkati. Biasanya ini paling jelas karena kedengaran bunyi “crik” karena suara rantai bergesek.
3. Lalu diturunkan.
Gerakan ini membentuk satu ayunan.
Menurut Rubik 1962, gerakan nomor 2 dilakukan 2 kali (disebut ‘Ductus’), kecuali untuk Altar, 1 kali, karena Altar didupai dengan mengelilinginya dan selama berjalan pendupaan terus digoyangkan.
Jadi ketika mendupai Sakramen Mahakudus misalnya:
1. Angkat pendupaan sampai sekitar dada atau agak lebih tinggi lagi.
2. Goyangkan 2x (crik – crik).
3. Turunkan.
Gerakan 1 – 3 diulangi sampai 3x.
Posted by liturgiekaristi on March 8, 2011
Pertanyaan umat :
1. bagaimana cara mendupai sakramen mahakudus pada saat perarakan sakaramen pada Kamis Putih (sebelum tuguran). Misdinar berjalan mundur sambil mendupai, atau berjalan sperti biasa tapi berjalan didepan sakaramen, pada saat tertentu berlutut dan mendupai sakramen?? di paroki kami biasanya misdinar berjalan mund…ur sambil mendupai, tapi saya membaca di salah satu group katolik di FB juga, yang menjelaskan cara ke-2. mohon pencerahannya…thx
2. Setahu saya (dari Fb Tradisi Katolik) dalam perarakan petugas pembawa dupa berada didepan yang mana dilakukan untuk mendupai (mensucikan) jalan yang akan dilalui oleh perarakan tersebut.
PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ :
Hmmmm kalau memang mau mendupai sakramen secara kontinyu, ya mau tidak mau harus berjalan mundur. Ini yang lazim. Memang resikonya perjalanan sakramen keliling atau perarakan sakramen menjadi lambat.
Cara kedua, (tidak dilarang) untuk mengantisipasi kelambatan itu, dan kelelahan kalau harus berarak ke tampat yang jauh.
NB. Di salah satu paroki di Crespina, dekat Pisa (Italia) saya beberapa kali membantu di sana, dan pada Kamis malam sakramen diarak keliling desa bersama dengan patung Yesus dan relikwi dari “tanah suci”. Otomatis misdinar tidak perlu berjalan mundur tetapi berjalan biasa di depan sakramen dengan membawa pedupaan yang mengepul, dan kadang berhenti untuk mendupai .
Jarak tempat sakramen di arak adalah dari gereja Paroki dan dipindahkan ke gereja kapel, jaraknya sekitar 2 km. Perarakan berjalan memutar agar semua jalan desa terberkati oleh sakramen. Semua rumah memasang lilin di pintu dan pagar mereka, walau mereka tadi tidak berangkat ke gereja untuk perayaan Kamis Putih …..
 :-)
PENCERAHAN DARI PASTOR CHRISTIANUS HENDRIK :
Hemm….mengenai cara mendupai kiranya bisa bermacam2 cara tergantung kebiasaan dan situasi setempat di mana perarakan diadakan-seperti sudah dijelaskan oleh rm Samiran SCJ. Tetapi inti dari pendupaan kiranya tetap harus berpusat pada Sakramen Mahakudus yang didupai, bukan pertama2 jalan, atau rumah atau tempat sekitar yang dilewati.
Memang ketika kita menghormati dan terus melakukan puja pengudusan terhadap sakramen Mahakudus, kemudian dampaknya adalah bahwa jalan, tempat2 yang akan dilalui, bahkan orang2 di sekitar juga harus dikuduskan/menguduskan diri supaya pantas bagi kehadiran Allah yang nyata dalam sakramen Mahakudus.
Tradisi yang serupa dengan penghormatan terhadap Sakramen Mahakudus bisa ditemukan dalam banyak peristiwa di Perjanjian Lama, ketika Israel mengarak Tabut Perjanjian (mis.I Tawarikh 15). Ketika tradisi mendupai belum populer, lalu berbagai bentuk penghormatan terhadap setiap tanda Kehadiran Yang Ilahi (Tabut Perjanjian) dilakukan dengan pelbagai cara: nyanyian pujian, sangkakala, terompet, gambus pelbagai macam jenis, pemotongan hewan kurban, kurban bakaran…bahkan tarian (Daud menari2 di depan Tabut Perjanjian).
Jadi inti pendupaan adalah kepada Sakramen Mahakudus-entah dengan cara mundur,atau berjalan maju sambil sesekali berhenti untuk mendupai.
Asap dupa yang membubung melambangkan terhubungnya dunia dan surga tinggi melalui kehadiran Allah dalam rupa Sakramen Mahakudus. Wewangian asap dupa melambangkan kesucian itu sendiri dan sikap hati yang sepantasnya ketika kita berada di dekat Sakramen Ilahi. Maka juga perlu diperhatikan supaya saat pendupaan memang ada asap yang mengepul dan membumbung tinggi, bukan cuma formalitas mengayun2kan wiruk/dupa tapi apinya padam dan tidak ada asapnya…lalu kehilangan maknanya he he…
Posted by liturgiekaristi on March 8, 2011
Pertanyaan umat:

Dalam perarakan Kamis Putih bukan sibori, kalo nggak salah dulu yang diarak “Monstrans”.Tapi mengapa yang saya lihat seringnya monstrans dipakai untuk misa penyembuhan..?Upacara Kamis Putih mengapa “Monstrans” tidak diarak…?
PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ:
Monstrans … dari bahasa Latin artinya menunjukkan; maka sebenarnya itu dipakai untuk upacara Adorasi atau Salve.
Tetapi pada Hari Kamis Putih sebenarnya kita mengadakan penghormatan kepada Sakramen Mahakudus yang akan dipindah tempatkan … maka yang pas memang sibori.
Tetapi kalau tidak ada pemindahan sakramen, dan Sakramen Mahakudus mau ditahtakan di altar untuk sembah sujud, maka memang yang dipakai adalah mostrans.
Misa penyembuhan menggunakan monstrans karena setelah Misa dilanjutkan dengan Adorasi Sakramen Mahakudus, maka Sakramen ditahtakan dengan mosntrans … dan setelah hampir selesai adorasi memang akan ditutup dengan pemberkatan dengan sakramen Mahakudus.
Untuk informasi lebih lengkap silahkan browsing “adorasi sakramen Mahakudus”
PENCERAHAN DARI BP. Agus Syawal Yudhistira
Aturan Liturgi secara spesifik MELARANG eksposisi Sakramen menggunakan Monstrans (Ostensorium) pada tuguran Kamis Putih (Lihat “PASCHALES SOLEMNITATIS”, Kongregasi Ibadat Suci 1988, no. 55).
Mengenai Adorasi Sakramen Mahakudus dalam wujud Eksposisi, ada dua pilihan (lihat “EUCHARISTIAE SACRAMENTUM”, Kongregasi Ibadat Suci 1973):
Meriah/Agung/Solemn, digunakan Monstrans.
Sederhana, digunakan Sibori/Pixis…. See More
Maka jika Sakramen Mahakudus diarak menggunakan Sibori, penghormatan yang diberikan tetap sama.
Posted by liturgiekaristi on March 8, 2011
Pertanyaan umat:
Dlm perarakan di Hari Kamis Putih, di gereja Barnabas pamulang dan grj Stefanus Cilandak, (sedangkan di grj lain tidak ada) ada bunyi2an dari kayu…. ini melambangkan apa?
PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ:
Bunyi ‘kelotokan’ pada Tri Hari Suci, mulai Kamis malam setelah komuni, sampai Sabtu suci pagi, sebenanrnya dimaksudkan untuk penanda menggantikan bel, dan giring-giring, yang tidak dibunyikan selama saat itu.
Lonceng dan bel kembali dibunyikan pada malam Paskah saat Gloria dikumandangkan.
(NB. Saya tidak tahu tradisi di negara lain, tetapi di Italia sejauh saya tahu tidak ada penggantian itu, tetapi ya sepi aja – tanpa perlu digantikan).

Komentar

Postingan Populer