Telaah
teks
Perikop ini seolah terbagi menjadi
dua bagian. Bagian yang pertama menyampaikan tentang apakah perintah Tuhan yang
utama, dan bagian yang kedua menyampaikan tentang siapakah sesama manusia.
Mengapa perintah Tuhan yang utama
adalah agar kita mengasihi Tuhan? Khotbah St. Yohanes Maria Vianney (1786-1859)
mungkin dapat membantu kita memahami, mengapa demikian:
“Ya, pekerjaan kita satu- satunya di
dunia ini adalah perbuatan mengasihi Tuhan- yaitu mulai melakukan pekerjaan
yang akan kita lakukan kelak di dalam kekekalan. Mengapa kita musti mengasihi
Tuhan? Sebab kebahagiaan kita diperoleh dari mengasihi Tuhan; dan bukan dari
hal yang lain. Jadi, jika kita tidak mengasihi Tuhan, kita akan selalu tidak bahagia;
dan jika kita berharap untuk menikmati penghiburan dan kelepasan dari kesakitan
kita, kita akan mencapainya hanya jika kita mengasihi Tuhan. Jika kamu ingin
menjadi yakin akan hal ini, pergilah dan temukanlah seseorang yang paling
bahagia menurut ukuran dunia ini; jika ia tidak mengasihi Tuhan, kamu akan
menemukan bahwa ternyata ia adalah orang yang tidak bahagia. Dan sebaliknya,
jika kamu menemukan seseorang yang tidak bahagia menurut ukuran dunia, kamu
akan melihat, bahwa karena ia mengasihi Tuhan ia bahagia di dalam segala
sesuatu. O Tuhan! Bukalah mata hati kami, dan kami akan mencari kebahagiaan di
mana kami sungguh dapat menemukannya.”[1]
Jika kita membaca berita tentang
tokoh selebriti baik di dalam negeri maupun di luar negeri, sedikit banyak kita
dapat mengetahui bahwa apa yang ditulis oleh St. Yohanes Maria Vianney benar
adanya. Sebab ada banyak orang yang nampak bahagia dari luar, namun hatinya
kosong, sebab mereka tidak mengenal dan mengasihi Allah. Tak jarang, ada di
antara mereka yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri, karena merasa
hidupnya tak berarti. Namun sebaliknya, ada juga orang- orang yang nampaknya
tidak berkelebihan di mata dunia, namun mereka hidup bahagia, sebab Tuhanlah yang
menjadi sumber suka cita mereka. Kita dapat menyebutkan sendiri, orang- orang
semacam ini yang Tuhan ijinkan untuk hadir dalam kehidupan kita, untuk membuka
mata kita, bahwa bukan kemewahan duniawi yang menentukan kebahagiaan seseorang,
tetapi hubungan kasih yang erat dengan Tuhan.
Perikop ini sesungguhnya jelas
mengajarkan kepada kita bahwa sesama bagi kita adalah siapapun -tidak terbatas
oleh ras ataupun golongan- yang membutuhkan pertolongan kita. Maka belas
kasihan tidak hanya berarti merasa kasihan, tetapi kasih itu harus diwujudkan
dalam bentuk yang nyata. Kita sebagai murid- murid Kristus diajak untuk
membagikan belas kasih kita kepada sesama. Sesama di sini bukan hanya teman
kita, tetapi juga mereka yang bukan teman kita, bahkan musuh/ orang yang
membenci kita. Perumpamaan ini menjelaskan perintah Kristus, “Kasihilah
musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu… “(Luk 6:27; lih. Mat
5:43). Sebab kasih yang tulus sifatnya memberi, tanpa mengharapkan balasan;
menolong karena mengetahui bahwa orang tersebut membutuhkan pertolongan.
Penjelasan The Navarre Bible
tentang perikop ini mengatakan bahwa perbuatan belas kasih ada empat belas
macam, tujuh bersifat rohani dan tujuh lainnya bersifat jasmani. Perbuatan
kasih yang bersifat rohani adalah: membawa orang yang berdosa kepada
pertobatan, mengajar mereka yang tidak tahu, menasehati orang yang bimbang,
menghibur orang yang berduka, menerima kesalahan dengan sabar, mengampuni
kesalahan orang lain, mendoakan orang- orang yang masih hidup dan yang sudah
meninggal. Sedangkan tujuh perbuatan kasih yang bersifat jasmani adalah:
memberi makan orang yang lapar, memberi minum orang yang haus, memberi pakaian
kepada orang yang tidak berpakaian, memberi tumpangan kepada yang tidak
mempunyai tempat tinggal, mengunjungi orang sakit, mengunjungi para tahanan di
penjara, dan mengubur orang yang meninggal dunia.[2]
Kemungkinan Yesus mengajar dengan
perumpamaan dengan maksud mengkoreksi kebiasaan kesalehan yang palsu yang
dilakukan oleh orang- orang pada jaman itu. Menurut hukum Taurat, persentuhan
dengan jenazah menjadikan seseorang najis secara hukum, sehingga perlu
menjalani ritual pemurnian (lih. Bil 19:11-22, Im 21:1-4, 11-12). Hukum- hukum
ini bukan dimaksudkan untuk mencegah orang- orang menolong orang yang terluka;
tetapi hukum itu ditujukan untuk alasan kesehatan dan penghormatan kepada orang
mati. Penyimpangan para imam dan orang Lewi pada perumpamaan ini adalah, mereka
yang tidak tahu apakah orang yang dirampok itu sudah mati atau belum, sengaja
memilih untuk menerapkan interpretasi yang keliru terhadap hukum ritual -yang
merupakan hukum yang sekunder- dan malah mengabaikan hukum yang lebih utama,
yaitu mengasihi sesama dan memberikan bantuan yang diperlukannya.[3]
Dengan demikian Yesus mengajarkan
kita bahwa hukum kasih merupakan hukum yang terutama, dan ini mengatasi hukum- hukum
yang lainnya. Hukum kasih mengatasi batas ras/ golongan, seperti yang
ditunjukkan dalam perumpamaan ini. Sebab yang terluka karena dirampok itu
adalah seorang Yahudi, sehingga sesungguhnya seorang imam Yahudi dan seorang
Lewi yang lewat di sana mempunyai kewajiban yang lebih besar untuk menolongnya,
karena mereka sebangsa, namun juga karena kedudukan mereka sebagai pemuka umat.
Sebaliknya, akan lebih mudah dimengerti jika orang Samaria itu memilih untuk
tidak menolongnya, sebab saat itu bangsa Yahudi tidak bergaul dengan orang
Samaria (lih Yoh 4:9). Namun demikian, yang terjadi dalam perumpamaan itu
adalah sebaliknya: sesama orang Yahudi yang seharusnya menolong malah tidak
menolongnya, sedangkan orang Samaria yang tidak dianggap teman itulah yang menolongnya.
Kisah ini seharusnya membuka pemikiran kita tentang apakah kita sudah menjadi
‘orang Samaria yang baik hati’ bagi orang yang membutuhkan pertolongan,
terutama jika itu adalah saudara kita sendiri?
Dikisahkan bahwa orang yang jatuh ke
tangan penyamun itu sedang dalam perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho. Secara
geografis, ketinggian Yerusalem dari air laut lebih tinggi daripada ketinggian
Yerikho, sehingga jalan dari Yerusalem menuju Yerikho adalah jalan menurun.
Yerusalem sering disebut sebagai kota yang kudus/ surgawi, sedangkan Yerikho,
kota duniawi. Maka secara simbolis, penurunan ini menggambarkan jatuhnya
seseorang dari keadaan rahmat.
St. Agustinus mengajarkan bahwa
orang Samaria ini menggambarkan Kristus sendiri, dan orang yang jatuh ke tangan
penyamun itu adalah Adam, yang menggambarkan keseluruhan umat manusia yang
jatuh dalam dosa oleh jebakan si Jahat.[4]
Terdorong oleh belas kasihan, Kristus turun ke dunia untuk menyembuhkan
luka-luka manusia, dan menjadikan luka-luka tersebut sebagai luka-luka-Nya
sendiri (lih. Yes 53:4; Mat 8:17, 1 Pet 2:24, 1 Yoh 3:5). Kristus merawat luka-
luka itu dan mengolesinya dengan minyak dan anggur, yang menggambarkan
sakramen; sedangkan tempat penginapan itu menggambarkan Gereja. Perumpamaan ini
menggambarkan kisah belas kasihan Kristus kepada umat manusia, sejalan dengan banyak
ayat lain di dalam Injil yang menunjukkan betapa Ia berbela rasa dengan
sesama-Nya yang menderita (lih. Mat 9:36, Mrk 1:41, Luk 7:13).
KGK 1825 Kristus
telah wafat karena kasih terhadap kita, ketika kita masih “musuh” (Rm 5:10). Tuhan
menghendaki agar kita mengasihi musuh-musuh kita menurut teladan-Nya (Mat
5:44), menunjukkan diri kita sebagai sesama kepada orang yang terasing (Bdk.
Luk 10:27-37), dan mengasihi anak-anak (Bdk. Mrk 9:37) dan kaum miskin
(Bdk. Mat 25:40, 45).
Santo Paulus melukiskan gambaran
mengenai kasih yang tidak ada tandingannya: Kasih itu sabar; kasih itu murah
hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak
melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri: Ia tidak
pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena
ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya
segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu”
(1 Kor 13:4-7).
Dalam surat ensikliknya, Christifideles
laici, Salvifici doloris, seperti dikutip dalam khotbahnya di
peringatan ke delapan World Day of the Sick, di Roma 11 Februari 2000.
“Gereja, “dari abad ke abad…. telah
membuat perumpamaan Injil Orang Samaria yang baik hati menjadi nyata kembali
dan menyampaikan kasihnya yang menyembuhkan dan penghiburan Yesus Kristus….Ini
terjadi melalui komitmen yang tak kenal lelah dari komunitas Kristiani dan
mereka semua yang merawat para orang sakit dan yang menderita …. bersama dengan
pelayanan yang ahli dan murah hati dari para petugas kesehatan.”[5].
“Teladan Kristus, Sang Orang Samaria
yang baik hati, harus menjadi inspirasi bagi sikap orang beriman, mendorongnya
untuk “dekat” kepada saudara dan saudarinya yang menderita, melalui
penghormatan, pengertian, penerimaan, kelemahlembutan, belas kasihan dan
kesediaan tanpa pamrih. Adalah masalah memerangi ketidakpedulian yang membuat
tiap-tiap orang dan kelompok dengan egonya menarik diri ke dalam diri mereka
sendiri. Sampai akhir, “keluarga, sekolah dan institusi- institusi pendidikan
harus, jika untuk alasan-alasan kemanusiaan, bekerja keras demi membangunkan
kembali dan menyempurnakan rasa peduli terhadap sesama dan penderitaannya.”[6].
Dalam surat ensikliknya Evangelium
Vitae:
“Selanjutnya, bagaimana kita gagal
untuk menyebutkan semua tanda sehari- hari tentang keterbukaan, pengorbanan dan
perawatan yang tak memikirkan diri sendiri yang dibuat oleh orang- orang yang
tak terhitung banyaknya di dalam keluarga, rumah sakit, panti asuhan, panti
jompo dan pusat- pusat lain atau komunitas lainnya yang mendukung kehidupan?
Dipimpin oleh teladan Yesus, “Orang Samaria yang baik hati” (lih Luk 10:25-37)
dan ditopang oleh kekuatan-Nya, Gereja telah selalu berada di garis depan dalam
hal memberikan pelayanan kasih: begitu banyak putera puterinya, terutama para
religius, dalam bentuk tradisional ataupun baru, telah membaktikan dirinya dan
terus membaktikan hidup mereka kepada Tuhan, memberikan diri mereka secara
cuma-cuma demi kasih kepada sesama, terutama mereka yang lemah dan membutuhkan
pertolongan. Perbuatan- perbuatan ini memperkuat dasa “masyarakat kasih dan kehidupan”
yang tanpanya kehidupan setiap orang dan kelompok kehilangan kualitas manusiawi
yang paling asli. Bahkan jika perbuatan- perbuatan tersebut tidak nampak di
hadapan kebanyakan orang, iman menjamin kita bahwa Allah Bapa “yang melihat
yang tersembunyi” (Mat 6:6) tidak hanya akan memberi penghargaan akan
perbuatan- perbuatan ini, tetapi telah di sini dan sekarang membuat mereka
menghasilkan buah yang kekal demi kebaikan semua orang.[7]
Seorang asing bukan lagi orang asing
bagi orang yang harus menjadi sesama bagi yang membutuhkan pertolongan, sampai
pada titik menerima tanggung jawab bagi kehidupannya, seperti ditunjukkan jelas
dalam perumpamaan Orang Samaria yang baik hati (lih. Luk 10:25-37). Bahkan
musuh berhenti menjadi musuh bagi orang yang wajib untuk mengasihinya (lih. Mat
5:38-48; Luk 6:27-35), untuk melakukan kebaikan kepadanya (lih. Luk 6:27, 33, 35)
dan untuk segera menanggapi kebutuhan-kebutuhannya yang genting dan tanpa
pengharapan untuk dibayar kembali (lih. Luk 6:34-35). Keluhuran kasih ini
adalah untuk berdoa bagi musuhnya. Dengan melakukan hal itu, kita mencapai
kesesuaian dengan kasih Tuhan yang memelihara: “Tetapi Aku berkata kepadamu:
Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan
demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan
matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi
orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Mat 5:44-45; lih. Luk 6:28, 35)[8]
Dalam surat ensikliknya, Deus
Caritas est:
“Perumpamaan Orang Samaria yang baik
hati (lih. Luk 10:25-37) memberikan dua penjelasan yang sangat penting. Sampai
saat itu, konsep “sesama” dimengerti sebagai mengacu secara mendasar kepada
saudara-saudara sebangsa dan kepada orang-orang asing yang sudah menetap di
Israel; dengan perkataan lain, kepada komunitas suatu bangsa yang sudah
terjalin erat. Batasan ini sekarang dihapuskan. Siapapun yang membutuhkan saya,
dan yang dapat saya bantu adalah sesama saya. Konsep: “sesama” sekarang menjadi
universal, tetapi tetap konkret. Walaupun telah diluaskan kepada semua umat
manusia, ’sesama’ ini tidak direduksi menjadi sesuatu yang generik, abstrak dan
tidak menyatakan kasih; tetapi yang meminta komitmen praktis saya, di sini dan
sekarang….”[9]
Perumpamaan Orang Samaria yang baik
hati tetap menjadi patokan yang menekankan kasih yang universal kepada mereka
yang membutuhkan yang kita temui “secara kebetulan” (lih. Luk 10:31), siapapun
dia. Tanpa menyimpang dari perintah mengasihi yang universal ini, Gereja juga
mempunyai tanggungjawab yang khusus: di dalam keluarga gerejawinya tidak
seorang anggotapun harus menderita kekurangan. Ajaran dari surat kepada jemaat
di Galatia cukup tegas: “Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita,
marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan
kita seiman.”
((Paus Benediktus XVI, Deus Caritas est, 25))
((Paus Benediktus XVI, Deus Caritas est, 25))
Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita,
bahwa hanya dengan mengasihi Tuhan-lah kita dapat hidup bahagia. Kasih kepada
Tuhan itu diikuti dan diwujudkan oleh kasih kepada sesama, sebab kita percaya
Tuhan hadir di dalam sesama kita yang membutuhkan pertolongan (lih. Mat 25:40).
Kisah orang Samaria yang baik hati mendorong kita untuk mengasihi tanpa
memandang bulu, tanpa membeda- bedakan ras dan golongan, dan tanpa mengharapkan
balasan. Kristus sendiri telah memberikan teladan kepada kita, sebab Ia-lah
yang digambarkan sebagai orang Samaria yang baik hati itu. Kristus telah
menolong kita, menyembuhkan luka-luka kita akibat kejatuhan kita ke dalam dosa.
Setelah mengalami pertolongan Tuhan ini, kitapun dipanggil oleh Kristus untuk
melakukan hal yang sama, yaitu menolong sesama kita yang juga membutuhkan
pertolongan, baik itu adalah teman kita, ataupun orang yang membenci kita.
Setelah kita memenuhi tugas kewajiban kita di dalam keluarga dan pekerjaan
kita, kita perlu juga berkarya bagi orang lain dengan menjadi “Orang Samaria
yang baik hati” bagi mereka yang membutuhkan. Dengan melakukan hal ini, kita
membagikan kasih Tuhan, dan hati kita akan memperoleh suka cita.
Mari kita tanyakan kepada diri kita
sendiri: kepada siapakah kita dapat menjadi “orang Samaria yang baik hati” pada
hari ini?
Komentar
Posting Komentar