Nilai Kerja Manusia
Di jaman yang semakin kompleks
ini, makna dan nilai bekerja telah bergeser. Bekerja dipahami secara
sempit sebagai hal duniawi belaka. Kebanyakan orang tanpa sadar melihat makna
bekerja sekadar mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Fakta
lain menunjukkan bahwa makna dan nilai bekerja telah menyempit
menjadi mengejar nilai ekonomis. Kepuasan dalam bekerja identik dengan
kepuasan materialis. Manusia bekerja tidak lagi untuk memenuhi
kebutuhan hidup masing-masing, namun untuk mengumpulkan modal. Modal dan uang
dikejar demi uang itu sendiri dan tidak lagi
mempertimbangkan kesejahteraan bersama (bonum commune). Akhirnya
kerja pun bukan lagi demi pemenuhan kebutuhan hari ini, tetapi melampaui
kebutuhan dan memiliki orientasi mengumpulkan sebanyak-banyaknya. Bahkan
demi mendapatkan hasil ekonomis, seseorang mengabaikan nilai moral dalam
bekerja, dengan melakukan praktek ketidak jujuran.
Dalam mengolah dan menggumuli subtema pertemuan pertama
ini, kita perlu memperhatikan beberapa segi atau aspek pokok pewartaan terkait.
Dengan demikian karena terang dan ispirasi darinya kita dapat menemukan makna
dan arti baru kerja dalam kehidupan sehari-hari.
Kerja sebagai panggilan Tuhan
Kerja
menegaskan jati diri fundamental manusia yang diciptakan seturut gambar dan
rupa Allah. Perjanjian Lama menampilkan Allah sebagai
Pencipta Mahakuasa (bdk. Kej 2:2; Ayb 38-41; Mzm 104; Mzm
147) yang membentuk manusia seturut
citra-Nya dan mengundang dia untuk mengolah tanah (bdk. Kej 2:5-6) serta mengusahakan dan memelihara taman Eden di mana Allah telah
menempatkannya. Kepada pasangan manusia pertama Allah mempercayakan
tugas untuk menaklukkan bumi dan berkuasa atas semua makhluk hidup (bdk. Kej 1:28). Namun kekuasaan yang
dilaksanakan manusia atas semua makhluk hidup yang lain, bukanlah sesuatu yang
lalim atau sewenang-wenang; sebaliknya, ia harus “mengusahakan dan memelihara”
(Kej 2:15) harta benda yang telah diciptakan Allah. Harta benda ini tidak
diciptakan manusia, tetapi telah diterimanya sebagai suatu karunia berharga
yang ditempatkan Sang Pencipta di bawah tanggung jawabnya.
Mengusahakan bumi berarti tidak membiarkan dan menelantarkannya;
menaklukkannya berarti memeliharanya, seperti seorang raja arif yang mengayomi
rakyatnya dan seorang gembala yang menjaga kawanan dombanya. Hal tersebut juga
menerangkan tentang kegiatan manusia di dalam alam
semesta: manusia bukanlah pemiliknya, melainkan orang-orang kepada siapa alam
semesta itu telah dipercayakan, yang dipanggil untuk memantulkan di dalam cara
kerja mereka sendiri gambar dari Dia yang di dalam keserupaan dengan-Nya mereka
telah diciptakan. Dengan kata lain pekerjaan yang kita jalani adalah merupakan
karunia dan rahmat Tuhan sendiri yang mesti kita hayati secara bertanggungjawab
seturut martabat yang dikaruniakan Allah kepada kita.
Kerja bukan hukuman Tuhan
Kerja adalah bagian dari keadaan asli manusia dan mendahului
kejatuhannya ke dalam dosa; karenanya kerja bukan merupakan hukuman atau
kutukan. Kerja menjadi berat dan
menyengsarakan karena dosa Adam dan Hawa, yang memutuskan relasi kepercayaan
dan keselarasan mereka dengan Allah (bdk.
Kej 3:6-8). Larangan untuk makan dari “pohon pengetahuan tentang yang baik dan
yang jahat” (Kej 2:17) menjadi peringatan bagi manusia bahwa ia telah menerima
segala sesuatu sebagai anugerah, dan bahwa ia senantiasa menjadi makhluk dan
bukan Khalik. Justru godaan inilah yang mendorong Adam dan Hawa berbuat dosa:
“kamu akan menjadi seperti Allah” (Kej 3:5). Mereka menghendaki kekuasaan
mutlak atas segala sesuatu, tanpa mau taat kepada kehendak Sang Pencipta. Sejak
saat itu, tanah menjadi seteru yang pelit, tak sudi mengganjar dan degil (bdk. Kej 4:12); hanya dengan peluh yang
menetes di kening barulah mungkin tanah itu mengeluarkan hasil (bdk. Kej 3:17,19).
Sekalipun dosa kedua nenek moyang kita itu, rencana Sang Pencipta,
makna makhluk-makhluk ciptaan-Nya – dan di antaranya manusia yang dipanggil
untuk mengusahakan dan memelihara ciptaan – tetap tidak berubah. Pada dasarnya Allah menghendaki agar manusia dalam hidupnya
berkerja. Dan manusia menjalaninya secara benar sebagai tugas dalam dunia milik Tuhan. Melalui kerja manusia bisa bertahan dan
melanjutkan hidupnya serta berinteraksi dengan lingkungan dan ciptaan Tuhan lainnya, sekaligus sebagai salah satu
cara memuliakan Tuhan.
Hubungan kerja dengan iman
Hubungan
kerja dengan iman atau kerja merupakan perwujudan iman, kaitannya tidak begitu
mudah dilihat secara lahiriah. Hanya pribadi yang bersangkutan yang bisa
merasakan dan menghayatinya. Walaupun demikian, kita mesti memaknainya secara jernih. Rasul Yakobus
menyatakan seperti berikut ini. “Demikian juga
halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada
hakekatnya adalah mati” (Yak 2:17). Iman adalah
jawaban kita kepada panggilan Tuhan. Iman itu hendaknya diwujudkan dalam
tindakan nyata, termasuk dalam bekerja. Oleh karena itu kita hendaknya semakin
terbuka terhadap kehendak Tuhan, untuk bekerja dengan semangat iman, demi
kemuliaan Tuhan dan kesejahteraan manusia. Sikap dan semangat yang lain seperti
menghargai pekerjaan dan pekerja, peduli terhadap fenomena pengangguran serta
bersemangat dalam karya pelayanan adalah merupakan buah-buah dan wujud dari
iman kita.
Akhirnya perlu disampaikan khususnya bagi para pemandu,
dalam menggumuli subtema pertemuan pertama ini dalam kebersamaan, tentu
diperlukan langkah dan proses yang mendukungnya agar sungguh mengena,
menyentuh, dan mendalam. Dengan demikian dalam pertemuan ini bisa menghasilkan
buah-buah pertobatan yang dapat mengembangkan hidup beriman umat bertolak dari
situasi konkritnya. Oleh karena itu maka dalam pertemuan ini pertama-tama
peserta akan diajak menyadari pengalaman hidup masing-masing dalam kebersamaan
dan kemudian mengambil terang serta inspirasi dari Ajaran Gereja khususnya dari
Kompendium ”Ajaran Sosial Gereja” (ASG) Artikel 275.
Sumber "Bahan Pemandu APP 2013 Keuskupan Purwokerto"
Komentar
Posting Komentar